terkadang kita lebih gemar berkutat dengan akhir,
lupa bahwa akhir selalu merupakan awal,
atau hanya saya?
Seperti yang sudah-sudah, ada banyak hal terjadi dalam tiga enam lima hari kemarin. Saya percaya, setiap tahun pasti spesial. Akan selalu ada -mengutip frasa favorit saya- "kejutan yang mendewasakan".
Kebahagiaan dan kedukaan adalah hal biasa yang membuat hari-hari terasa begitu berharga. Seringkali perasaan gembira yang terlalu membuncah membuat saya seolah nyaris meledak. Tak jarang pula kesulitan menarik kaki saya kuat-kuat ke dalam lumpur gelap yang pekat hingga membikin sesak.
Bukan perkara mudah memercayai bahwa kesakitan itu seperti halnya kebahagiaan yang sama sekali tidaklah abadi. Sekian lama saya berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa setiap sesak akan berlalu, setiap persoalan pasti ada jalan keluarnya, bahkan jika terasa tidak ada barangkali itu bukanlah sebuah persoalan yang perlu dicemaskan sedemikian dalam. Tentu saja jika itu perkara bahagia, saya tidak pusing mengurainya agar lebih bisa mengendalikan perasaan. Tabiat manusia, kalau sedih banyak merenung, kalau senang kebanyakan perayaan. Padahal keduanya sama-sama ujian yang patut diatur porsinya.
Lambat laun, waktu terus berlalu tanpa terasa seperti biasa. Bagaimana pun caranya saya terus berjalan, entah sembari tertawa, menangis, atau tertawa sekaligus menangis. Lalu perlahan saya tidak lagi bisa mengingat secara persis kesenangan yang berlebihan diluapkan, kesakitan yang terlampau banyak dikeluhkan. Pada suatu masa semua terasa baik-baik saja. Kenyataan menyadarkan bahwa saya mampu bertahan dan waktu memang menyembuhkan. Kalau kemarin-kemarin bisa, mestinya tidak ada alasan untuk tidak yakin dengan diri sendiri, bukan?
Jadi, di tahun yang baru lagi untuk kesekian kalinya ini mari mengheningkan cipta dengan meresapi dalam-dalam lagu Banda Neira: Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti.
Amin.
[1119]
No comments:
Post a Comment