Saya tidak lahir di sini, di tempat tinggal orang tua saya yang sekarang, melainkan di kampung halaman ibuk. Namun begitu, saya tidak melalui masa balita di sana, tetapi di sini, di kampung halaman bapak. Di sini, pendidikan TK nol kecil, nol besar sampai sekolah dasar saya tempuh sampai tamat. Di jenjang selanjutnya, yakni SMP saya bersekolah di kecamatan sebelah yang jaraknya sekitar dua puluhan menit jika ditempuh menggunakan sepeda motor. Sewaktu SMA saya sekolah di kota kabupaten. Lalu saya berkuliah di sebuah kampus negeri di Solo. Setelah pendadaran dan dinyatakan lulus, saya pulang kampung meski masih sering bolak-balik mengurus revisi dan wisuda.
Rentang waktu sejak selesai revisian hingga akhirnya wisuda cukup lama, dan yang saya lakukan adalah melakukan banyak hal yang hanya bisa dilakukan saat saya ada di rumah seperti berkebun dengan asiknya, membantu ibuk memasak, makan bersama keluarga dalam satu meja, dan banyak hal lainnya yang telah sangat saya rindukan. Untuk sekadar bertahan hidup dan membayar asuransi kesehatan, saya mengerjakan proyek kecil-kecilan mulai dari proyek pribadi semacam kriya dan penyuntingan, hingga proyek milik ibuk dengan membantu mengurus pesanan, menyiapkan kalau hendak pameran, atau kadang ikut serta juga dalam perlombaan. Kalau diingat-ingat, bahkan saya sempat mengikuti kelas tata boga dan mendapat bantuan alat dan sertifikat. Saya pribadi merasa masa "nganggur" kemarin itu tidak "nganggur-nganggur" amat, apalagi sia-sia. Saya merasa mendapat banyak hal tak terduga dan yang pasti saya bahagia.
Saya pun wisuda. Selepas resmi mendapat gelar dan ijazah, saya kembali ke rumah dengan segala rutinitas sederhana seperti yang kemarin-kemarin saya lakukan. Sekian waktu berjalan, kemudian saya mendapatkan tawaran pekerjaan untuk membantu menggenapi tenaga di sebuah proyek baru yang lokasinya tak jauh dari rumah. Iseng saya terima dan hari itu juga saya langsung bekerja meski belum menerima gaji. Jujur, ketika itu saya tidak memiliki ekspektasi apa-apa. Saya hanya berpikir, meski bidangnya nggak begitu pas dengan latar belakang pendidikan saya, tapi toh kerjanya dekat sekali dari rumah dan kebetulan saya masih ingin tinggal lebih lama lagi di rumah alias belum ingin merantau lagi, jadi kenapa enggak?
Mulailah saya bekerja di sana. Dan suara-suara semacam: "Sekolah jauh-jauh, tinggi-tinggi, eh kerjanya cuma di situ dan begitu aja" atau "Kok nggak ke Jakarta aja sih, atau kerja ke kota mana gitu, sayang amat ijazahnya" mulai berdengungan.
Nyatanya, pulang ke rumah tak mesti mudah. Setelah berjarak sekian lama dan hanya mengunjungi tempat tinggal orang tua sesekali saat akhir pekan, bagi saya lingkungan jadi terasa lumayan asing. Saya tidak menyangka bahwa tidak hanya di media sosial, tetapi lingkungan saya sendiri terkadang bisa begitu tega bahkan sangat racun.
Pilihan saya ini, bukan suatu masalah bagi orang tua. Sekian bulan berlalu sampai saya sendiri tidak menyangka mau dan mampu bertahan bahkan bisa menikmati hingga sejauh ini. Belum ada satu tahun, tapi sebagai anak baru di dunia kerja, yang saya hadapi di sana sejak masa pelatihan sampai diangkat sebagai karyawan tetap lumayan menantang. Meski bekerja di perusahaan rintisan, terlebih lagi lokasinya di kampung, tetapi saya senang. Semua itu mungkin karena diam-diam saya belajar tentang begitu banyak hal. Secara tidak langsung perlahan mental saya juga terasah. Dan yang tidak banyak orang pahami, saya paling senang karena merasa memiliki teman dan bisa berteman dengan orang-orang sekitar yang sesama rekan kerja, kolega atau bahkan dengan para pelanggan. Sesuatu yang mungkin biasa saja tapi sangat berarti bagi saya, karena seumur-umur saya tidak pernah merasa memiliki teman sekampung, selingkungan asal. Mentok juga hanya satu dua tetangga dan teman SD yang boleh dibilang saat saya memutuskan untuk lanjut SMP ke sekolah "anti mainstream" , kami sudah berhenti berteman.
Sama seperti kemarin, sampai detik ini saya tidak melihat hidup saya dengan pekerjaan yang saya jalani ini sebagai sesuatu yang menyedihkan. Saya juga tidak merasa telah menyia-nyiakan pendidikan yang telah saya tempuh. Sebab saya percaya, hidup itu bukan tentang "terlihat begitu sempurna dan dielu-elukan banyak orang", kebahagiaan tidak selalu berbanding lurus dengan materi, dan kesuksesan tidak melulu tentang hal-hal fantastis. Dan sarjana tidak berdosa kok kalau bekerja di desa. Sarjana juga boleh bekerja di sektor-sektor dasar. Sarjana sangat boleh pulang ke kampung halaman masing-masing dan berkontribusi sedikit demi sedikit dengan caranya masing-masing. Yang pasti, sarjana juga tidak perlu patah arang diserang kata-kata tidak menyenangkan. Sebab, mau di mana pun dan bagaimanapun, akan selalu ada celah bagi orang lain untuk mencela. Iya, saya sekali lagi sedang menguatkan diri sendiri.
Panjang umur ujaran-ujaran baik dan mulut-mulut yang santun.
wow wow wow wow wow wow
ReplyDelete