Hidup
adalah pilihan. Setidaknya begitulah yang sering aku dengar dari banyak orang.
Kita bebas menentukan pilihan masing-masing. Memvonis bahwa hidup ini indah, menyenangkan
atau hidup ini kejam, menyedihkan. Terserah. Sebab kita sendiri yang menjalani
dengan segenap risiko yang mengikuti.
Ingin kubuka luka ini. Agar tak infeksi seperti kata
ibuku dulu sembari mengobati lututku yang mengelupas kulitnya; tergores aspal
hitam jalanan saat aku jatuh tersungkur waktu bermain sepeda. Perih, aku
menangis meraung-raung saat cairan berwarna merah kecoklatan itu meresap di
atas lukaku dan bercampur dengan darah segar yang belum berhenti menerabas
daging yang telah terkelupas kulitnya. Selesai memberi obat, ibu menempelkan
plester luka. Masih perih, dan plester tersebut membuat lututku terasa kaku.
Itulah satu-satunya luka peninggalan masa kecil.
Ternyata, perihnya tak seberapa dibandingkan lukaku sekarang. Luka yang
senantiasa kusimpan sendirian tanpa ada penanganan; pertolongan pertama seperti
yang dilakukan ibu dahulu. Ya, dahulu ibu masih sempat mengurusiku. Mungkin
karena waktu itu aku masih kecil. Dan karena kini aku telah remaja, ibu tak
lagi sempat. Oh, entah, mungkin tak lagi peduli.
Semenjak ayah pergi, ibu menjadi sangat sibuk. Bukan. Bukan lantas menjadi wanita karir, dengan sepatu hak tinggi, setelan seragam wangi, dan tas mahal merek internasional yang hanya ada satu dua biji di seluruh dunia. Ibu sibuk menjadi orang lain. Menjelma menjadi sosok yang tak peduli dengan siapa pun. Ia lakukan segala sesuatu sesuka hatinya. Ia seakan membungkam suara hatinya rapat-rapat. Melupakan segala kenangan lalu yang membelenggu.
Semenjak ayah pergi, ibu menjadi sangat sibuk. Bukan. Bukan lantas menjadi wanita karir, dengan sepatu hak tinggi, setelan seragam wangi, dan tas mahal merek internasional yang hanya ada satu dua biji di seluruh dunia. Ibu sibuk menjadi orang lain. Menjelma menjadi sosok yang tak peduli dengan siapa pun. Ia lakukan segala sesuatu sesuka hatinya. Ia seakan membungkam suara hatinya rapat-rapat. Melupakan segala kenangan lalu yang membelenggu.
Ibu tak lagi bekerja. Usaha butiknya terbengkalai hingga akhirnya gulung tikar sekitar dua tahun silam. Kerjaan ibu hanya malas-malasan; berkutat sendirian di kamarnya. Kalau sudah bosan ia akan keluar; ke mall sendirian. Kemana-mana ibu selalu sendirian. Ibu tak punya teman. Aku tahu ia kesepian.
Ibu pulang kalau sudah petang. Aku tak tahu ia kemana
saja, dan aku sudah malas bertanya. Sebab jawabnya selalu sama; ke mall. Sampai
rumah biasanya ibu langsung mengunci diri di kamarnya. Mungkin tidur. Kalau
tidak ia akan mengomel sebentar sebelum masuk ke kamar. Ia akan marah-marah
kalau uang kiriman ayah telat di berikan atau kurang dari jumlah yang
diharapkan. Ya, begitulah ibu sekarang. Dan begitu pulalah kehidupanku sekarang,
ayah.
Aku sudah lupa rasanya kehangatan keluarga. Berkumpul, bercanda bersama, bahkan sekedar makan satu meja. Dua setengah tahun sudah kulupakan itu semua. Ku biasakan diri untuk sendiri tanpa siapa-siapa lagi.
*
“Cepat sedikit, kita berangkat
sekarang, keburu siang Mega!” Teriak ibu dari depan pintu rumah. Aku bergegas
menutup koperku yang penuh sesak. Berat rasanya meninggalkan rumah yang telah
ku tempati selama enam belas tahun ini. Terlalu banyak kenangan yang takkan ku
lupakan.
“Ya ampun, banyak sekali barang
bawaanmu Mega. Kau bawa apa saja?! Ayo cepat!” kata ibuku lagi. Aku hanya
menunduk. Mengikuti ibu masuk kedalam mobil sewaan dengan sisa uang pemberian
ayah yang terakhir bulan ini. Mobil pun melaju di keramaian jalan menuju
kampung halaman ibu. Selamat tinggal rumah kecilku, selamat tinggal segala
kenangan; ayah, kakak, teman-teman dan semua orang yang menjadi bagian dari
hidupku di kota ini.
Mobil melaju kencang. Rumahku makin tertinggal jauh di belakang. Aku semakin jauh dari kehidupanku. Seandainya ibu memberiku sedikit waktu, sebentar saja aku ingin menjenguk kakak di rumah tahanan. Ya, kakak laki-laki semata wayangku adalah seorang tahanan. Namun ia bukanlah seorang penjahat. Ia adalah sosok kakak yang baik. Ia cuek dan pendiam tapi semenjak kejadian itu aku tahu bahwa ia bukannya tak peduli.
Malam itu dengan pikiran kalap kakak pergi kerumah wanita itu. Wanita yang sering jalan bersama ayah. Wanita yang membuat ayah tak seperti ayahku yang ku kenal. Ayah tetap memberi nafkah, tetapi ayah jadi sering pulang malam dan bertengkar dengan ibu. Rumahku yang tenang dan harmonis pun mendadak penuh dengan percekcokan. Hingga tiada hari tanpa kata-kata kotor dari kedua sosok yang harusnya menjadi teladan bagi anak-anaknya. Kakak pun tak tahan dengan keadaan rumah yang kacau. Emosi yang coba ia tahan berbulan-bulanlah yang membuatnya berbuat nekat. Ia datangi rumah wanita idaman lain ayah itu. Wanita muda itu dengan santai membukakan pintu rumah dan berkata bahwa, ayahmu tidak ada di sini. Tanpa pikir panjang, kakak pukul wanita itu. Tak cukup sekali, bahkan berkali-kali. Hingga wanita yang tak menyangka akan diserang sedemikian liar itu ambruk, jatuh tersungkur tak berdaya. Anarkis memang.
Pagi harinya, kakak diringkus. Matanya sayu. Aku merengek ingin ikut saja bersamanya di penjara. Aku masih terus menggenggam tangan dingin kakak. Sampai di depan pintu mobil polisi yang terbuka itu kakak berbisik. Kau harus tetap tinggal di rumah. Jadi anak manis, dan jaga ibu baik-baik, ya. Kakak tidak akan lama. Begitu katanya sambil tersenyum. Senyum yang sekuat tenaga ia paksakan.
Ku rasa hari itu adalah hari terburuk sepanjang hidupku. Sebab siang harinya ayah minggat. Ia memutuskan untuk pergi. Dan sejak saat itulah aku tak pernah melihat ayah lagi. Ibu berkali-kali pingsan. Aku tahu bagaimana perasaanya. Namun sedalam apa pun aku dapat merasakan juga pedihnya, tapi tetap saja pedih tiada terkira hanya ibu yang menanggungnya. Ibu jadi sakit-sakitan semenjak dua bulan kemudian, kami dengar ayah menikah lagi dengan wanita itu. Hati kami hancur sudah.
*
Tahukah
ayah, rasanya kehilangan dua orang yang sangat kita cintai secara bersamaan?
Orang yang tadinya selalu hadir mewarnai kehidupan kita tiap hari
bertahun-tahun lamanya. Perpisahan itu terlalu menyakitkan bagi kami.
Itu baru tentang perasaan. Belum soal cercaan orang. Semua orang seakan diam. Tiap langkah kami di lingkungan sendiri selalu diiringi tatapan tajam yang memuakkan. Ayah tahu rasanya ditatap dengan tatapan iba? Tatap kasihan? Tatapan omong kosong. Coba ayah! Coba ayah sedikit saja mencicipi kesedihan dan kesepian ini.
Ayah. Aku malu. Bukan karena aku mencuri uang milik tetangga, juga bukan karena aku hamil duluan hingga dikeluarkan dari sekolah. Tidak. Aku tidak nakal seperti itu. Aku selalu berusaha menjadi anak yang manis, seperti bisikan kakak hari itu.
Aku malu, karena orangtuaku tak bersatu; berpisah tanpa sebuah perceraian. Namun apa bedanya bercerai atau tidak. Sedang kalian tak bersama layaknya suami istri yang saling peduli, dan ayah pun malah punya istri lagi.
Tiap hari aku bersembunyi dari dunia remajaku. Takut menatap kehidupan. Seakan cemoohan selalu mengintai. Hanya sesekali kuberanikan diri untuk melirik keluar jendela di pagi yang tak pernah lupa mengunjungi hari. Ku lihat teman-teman sekolah menengah pertamaku dulu berjalan riang bersama menggunakan seragam putih abu-abu. Aku tak ingin bermimpi berjalan bersama mereka tiap pagi. Sebab aku tak melanjutkan ke sekolah menengah atas. Malas, untuk apa? Lagipula ayah dan ibu tak peduli. Terserah, aku mau sekolah atau tidak. Kalian terlalu asik dengan dunia kalian masing-masing. Aku pun lebih suka berdiam diri di rumah; melamun. Menikmati kesendirian. Ibu pun juga hanya diam. Kami tak sering berbicara. Hingga kurasa aku pun menjadi bisu.
Ayah, hari ini kuputuskan untuk membuka luka itu. Rasanya sakit, jauh lebih sakit dibandingkan waktu ibu membuka plester lukaku dulu. Plester itu melekat kuat di kulitku, hingga terasa begitu sakit saat melepaskannya. Begitu pula luka ini, yang sudah dua setengah tahun membayangi hari-hariku. Sakit sekali waktu membukanya, ayah.
Apakah ayah bahagia disana? Apakah ibu bahagia begini? Apakah kakak telah bebas dan ikhlas?
Aku rindu ayah, kakak, dan sosok ibu yang dulu bersatu padu. Menjalani kehidupan bersama-sama. Bahagia.
Aku lelah marah. Aku juga lelah merintih. Aku bosan menyesali yang terjadi.
Hidup memang pilihan. Namun apa dayaku, kalian tetap orangtuaku. Keluargaku.
Ayah, jika kau masih menyisakan secuil ruang di hatimu, untuk memiliki rindu untuk keluargamu, temui kami di rumah masa kecil ibu. Aku, menunggumu.
Mega,
*
Basah. Entah, apakah tinta ini akan
luntur? Mungkin iya, seperti cinta ayah kepada ibu. Aku berpikir lagi untuk
mengirimkan surat ini.
***
Semin, 5 Maret 2012
Rahwiku Titahwening Mahanani
Rahwiku Titahwening Mahanani
*Dimuat di Majalah Sastra Horison Rubrik Kakilangit Desember 2012
Cerpen Cermin
Diulas oleh Joni Ariadinata
Cerpen Cermin
Diulas oleh Joni Ariadinata
No comments:
Post a Comment