Apa cita-citamu sewaktu kecil? Apa cita-citamu sekarang?
Makin menua, apa-apa mungkin memang jamak terasa mengabur.
*
Belakangan, beberapa teman menanyakan pertanyaan aneh semacam, "Wik, kalau menurutmu hobiku apa? Passionku kira-kira apa?" yang sudah tentu membuat saya bingung. Alih-alih menjawab pertanyaan teman-teman saya tersebut, saya justru menanyakan pertanyaan yang sama kepada diri saya sendiri.
"Hobi saya apa sih? Passion saya apa?"
Belum ada pertanyaan yang terjawab. Waktu berlalu dan suatu ketika pemikiran saya menemu sebuah asumsi bahwa pertanyaan-pertanyaan itu hanya sebentuk "basa-basi" dari pertanyaan yang sesungguhnya yang perlu ditujukan kepada diri sendiri, yakni "Saya ini ingin apa? Mau ke mana? Passion mesti dimaknai seperti apa?"
Lingkungan saya pada umumnya sedang menapaki fase peralihan dari dunia belajar di bangku kuliah ke dunia bekerja. Keduanya merupakan dunia nyata yang memiliki realitanya masing-masing. Bangku perkuliahan tidak menjanjikan pekerjaan. Jurusan yang tepat sesuai minat juga tidak menjanjikan pekerjaan yang sesuai. Di dunia ini ada terlalu banyak variabel yang berkelindan, sehingga rasanya teramat naif jika pemikiran kita masih begitu hitam putih. Pendidikan tinggi sama dengan pekerjaan cemerlang. Jika bekerja sesuai passion sudah pasti akan bahagia. Tidak selalu. Semua serba tergantung oleh variabel-variabel. Dan kita, manusia adalah salah satu variabel paling menentukan selain Tuhan.
Tanggung jawab yang melekat di pundak manusia dewasa, apalagi seorang sarjana begitu besar. Setelah lulus ya mestinya kamu bekerja. Bekerja pun sebisa mungkin sebagaimana orang "normal" bekerja yang kelihatan secara kasatmata. Contoh paling pasaran, yakni pergi pagi pulang sore alias ngantor. Amat sayang tuntutan dan anggapan umum masyarakat masih sekaku itu. Bagi saya pribadi, bekerja itu ibarat makan, orang bebas memilih ingin makan apa, di mana, dengan tata cara seperti apa, bersama siapa, dan lain-lainnya. Andai yang dimakan adalah makanan murah, mahal, tidak sehat, terlampau sehat, selalu halal atau tidak halal pun, itu adalah pilihan yang bebas ditentukan oleh masing-masing pribadi dengan tanggung jawab yang mengikuti. Setiap orang memiliki prosesnya masing-masing. Nah, pertanyaannya sekarang kembali lagi, "kamu ingin proses yang seperti apa?"
Sejak kecil saya senang membaca dan mewarnai. Menginjak remaja saya senang menulis karena selalu takjub dengan tulisan-tulisan yang saya baca. Dulu bacaan saya yang paling rutin adalah majalah Bobo dan koran lokal Kedaulatan Rakyat. Saya menulis cerita sejak SMP. Saat SMA saya beberapa kali mengirimkan karya ke koran dan majalah. Saat awal kuliah saya pernah terpilih mewakili kampus untuk lomba seni tangkai penulisan cerita pendek. Saya menulis cerita dan menerbitkan buku pertama saya, Lalu secara indie. Sewaktu di kampus, saya juga pernah menjadi anak persma yang menulis untuk berita daring. Di luar kampus, sesekali saya menulis liputan untuk koran lokal. Seumur hidup, sejauh ini kegiatan saya tidak jauh-jauh dari kegiatan menulis. Kebetulan juga saya kuliah jurusan sastra. Teman yang mengenal saya sejak zaman sekolah mungkin akan mengira hidup saya cukup bagus dan beruntung karena bisa kuliah dan berkutat di bidang yang "saya banget", sesuai passion. Menulis. Wiku itu penulis, udah fix. Lulus nanti jadi penulis atau jurnalis.
Kenyataannya?
Saya berhenti menulis, sejak lama. Menulis tugas kuliah dan skripsi tidak dihitung ya, meski saya cukup menikmati menulis hal-hal "sok" ilmiah itu. Saya tidak menjadi penulis. Saya juga tidak menjadi jurnalis.
Sewaktu bocah yang masih duduk di taman kanak-kanak, saya yakin sekali tentang cita-cita menjadi seorang pilot. Cita-cita tanpa alasan. Makin ke sini saya selalu menuntut alasan dalam setiap hal. Dan sampai beranjak dewasa saya tidak pernah menemukan alasan untuk menjadi pilot. Saya justru mengoleksi alasan untuk batal menjadi pilot. Saya takut ketinggian, saya malas belajar fisika, matematika dan teman-temannya, saya perempuan dan pasti itu cita-cita yang aneh, banyak kecelakaan pesawat, dan masih banyak lagi la la la alasan yang lain. Saat ini, bertahun-tahun kemudian setelah melupakan soal berhenti ingin menjadi pilot, saya bertanya kepada diri saya sendiri. "Apa yang kamu rindukan? Apa yang sebenarnya selalu ada di dalam hatimu dan sangat ingin kamu lakukan?"
Saya rindu menulis. Saya sangat ingin kembali menulis, tetapi selalu ada "tapi" yang mengikuti. Saya sadar, saya ini peragu. Namun, jika ingin maju saya tidak boleh begini-begini saja terus-terusan karena saya bukan Snow White yang menunggu dicium untuk kembali hidup sempurna menjadi seorang putri.
Jauh di dalam lubuk hati, saya tahu hasrat yang menguasai saya adalah selalu tentang menulis. Menulis apa saja. Di masa sekarang yang penuh tuntutan soal hidup mandiri, saya mesti bergegas memikirkan baik-baik tentang apa yang sebenarnya ingin saya lakukan dan langkah ke mana yang harus saya usahakan. Apakah menulis akan menjadi jalan hidup yang saya pilih? Saya juga masih terombang-ambing. Namun, saya yakin itu adalah bagian dari proses awal trial and error yang mesti saya jalani. Hidup dan kebahagiaan yang layak perlu diperjuangkan dengan kerja keras. Saya harus bisa melalui segala kesulitan supaya siap menghadapi kesenangan agar tidak terjerumuskan ke hal-hal yang tidak diinginkan.
Saya percaya selalu ada kesempatan untuk berhasil, tetapi hidup hanya sekali. Dan saya masih yakin tidak perlu membakar diri sendiri untuk tampak terang menyala membara begitu kuatnya, lalu padam terlalu cepat dan berakhir menjadi abu yang terhempas ke sana sini.
Semoga kita, meski di tengah kebingungan dan kekaburan yang tidak berkesudahan, tidak pernah berhenti memercayai kekuatan diri sendiri dan kebaikan semesta yang besar ini.
Amin.
11/11/18
No comments:
Post a Comment