Rabu, 19 Maret 2014 (20:17)
Sejenak saya memejamkan mata dan berharap sekejap kemudian hari Jumat
pukul sebelas siang muncul di pelupuk. Mengapa Jumat pukul sebelas? Sebab waktu
itu kuliah resmi berakhir untuk minggu ini. Kemudian, tanpa buang waktu lagi
saya akan langsung ambil langkah menuju depan kampus. Dengan tidak sabar
menunggu bus jalur Surabaya-Yogyakarta yang tentunya melaju ke arah Yogyakarta.
Akan tetapi, kenyataannya tentu saja tidak demikian. Hari ini masih Rabu
malam Kamis. Seperti biasa saya masih termangu di kamar kos dengan kipas angin
mini yang tidak harus membuat saya mendengar suara gaduh kaki-kaki yang menapak
di lantai atas. Di hadapan saya terhampar hampir semua hal yang harus saya urus
minggu ini. Revisi makalah makul Teori Sastra, bundel tebal materi makul
Morfologi Bahasa Indonesia yang harus segera diringkas, melengkapi catatan
makul Pendidikan Pancasila, tugas untuk bahan ujian lisan makul Bahasa Arab,
dan hal-hal lain di luar urusan mahasiswa-dosen.
Cukup banyak yang harus segera saya selesaikan, namun saya justru membeku.
Tidak tergerak apalagi bergerak untuk menyambar. Saya hanya ingin satu; pulang.
Akhirnya saya memilih menata selimut; berangkat tidur setelah sebelumnya mulai menulis catatan ini. Kebiasaan buruk. Rupanya saya masih tidak bisa mengalahkan mood yang jatuh sekalipun itu demi tugas yang mendesak. Malam ini seperti yang sudah-sudah, tidak ada lagi kopi juga mi instan. Beberapa minggu ini saya bertekad hanya ngopi sewaktu di rumah dan dengan sengaja tidak lagi menampung stok mi instan di kos. Saya mengunci pintu, dan hari itu pun berlalu begitu saja. Tanpa menyadari bahwa seharian itu saya belum makan nasi sama sekali.
*
Semenjak kecil sebenarnya saya
sudah dibiasakan agar makan teratur, terutama saat sarapan. Sewaktu SD sampai
SMP oleh Bapak saya selalu diwajibkan sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat
sekolah. Jika menolak? Jangan harap boleh berangkat. Bapak saya lebih memilih
saya di rumah daripada saya berangkat tanpa melahap sarapan sedikit pun.
Bertahun-tahun pun saya selalu rutin sarapan setiap pagi sekalipun itu hanya
dua atau tiga sendok.
Menginjak SMA, jarak sekolah yang saya masuki semakin jauh saja dari rumah. Saya pun mulai menemukan celah untuk tidak sarapan. Namun, oleh ibu biasanya jatah sarapan dibungkus dalam kotak bekal. Itu berlangsung selama saya nglaju, dan tidak lagi setelah saya memutuskan untuk indekos. Tidak ada lagi bapak yang bisa memaksa-maksa saya sarapan atau ibu yang membawakan bekal. Kalau mau sarapan yang harus keluar; beli. Bapak dan Ibuk hanya bisa bertanya melalui sms atau telepon, apakah setiap waktu makan saya menjadi anak manis yang mematuhi jadwal dengan tertib. Awalnya saya senang, merasa bebas, tapi hanya awalnya saja sebab rupanya setiap istirahat pertama saya harus segera menyerbu kopsis. Lapar.
Menginjak SMA, jarak sekolah yang saya masuki semakin jauh saja dari rumah. Saya pun mulai menemukan celah untuk tidak sarapan. Namun, oleh ibu biasanya jatah sarapan dibungkus dalam kotak bekal. Itu berlangsung selama saya nglaju, dan tidak lagi setelah saya memutuskan untuk indekos. Tidak ada lagi bapak yang bisa memaksa-maksa saya sarapan atau ibu yang membawakan bekal. Kalau mau sarapan yang harus keluar; beli. Bapak dan Ibuk hanya bisa bertanya melalui sms atau telepon, apakah setiap waktu makan saya menjadi anak manis yang mematuhi jadwal dengan tertib. Awalnya saya senang, merasa bebas, tapi hanya awalnya saja sebab rupanya setiap istirahat pertama saya harus segera menyerbu kopsis. Lapar.
Saya butuh sarapan. Tidak hanya
dari Senin sampai Sabtu, bahkan Minggu pun juga tidak terkecuali. Bila tidak,
sudah pasti dapat ditebak. Saya tidak bakal bisa tertawa-tawa selepas biasanya
sekalipun teman saya lebih dari kocak, melawak di kelas.
Pada awal-awal indekos (lagi)
saat kuliah sebenarnya saya sudah berusaha dan cukup berhasil membuat jadwal
makan saya kembali tertib. Saya sarapan dan seringkali membawa bekal ke kampus.
Namun, belakangan semua itu sangat jarang bahkan nyaris tidak lagi saya lakukan
walaupun saya ingin. Awalnya saya merasakan perut saya berontak setiap saya
melewatkan sarapan. Hingga saat pergantian jam kuliah saya harus segera menuju
kopma. Namun, sekarang sudah tidak lagi. Saya biasa makan nasi sehari sekali
bahkan sering lupa sama sekali. Menganggap roti atau biskuit tidak ada bedanya
dengan nasi. Kebiasaan tidak baik yang sampai detik ini masih sulit saya
lepaskan.
*
Saya pernah mendengar pepatah yang mengatakan bahwa pada awalnya kita membentuk kebiasaan, namun kemudian kebiasaanlah yang akan membentuk kita.
Saat saya sudah terbiasa sarapan kemudian saya tidak melakukannya lagi, perut saya jelas tidak bisa terima. Mungkin kaget dengan perubahan tersebut. Akan tetapi, setelah saya biarkan terus-terusan rasanya tidak ada masalah.
Saat saya sudah terbiasa sarapan kemudian saya tidak melakukannya lagi, perut saya jelas tidak bisa terima. Mungkin kaget dengan perubahan tersebut. Akan tetapi, setelah saya biarkan terus-terusan rasanya tidak ada masalah.
*
Kamis, 20 Maret 2014 (21:25)
Saya masih seperti biasa, saat malam seperti ini mengunci diri dalam kamar dan termangu-mangu. Sewaktu SMA, malam-malam seperti ini biasanya saya dan teman-teman kos yang mayoritas juga teman satu sekolah seringkali melewatinya bersama-sama. Entah dengan mengobrol random, mengerjakan PR, nonton film, maraton nonton mv K-pop, main kartu, nyanyi-nyanyi atau konser berjamaah, sampai hal nggak penting yang tak terduga. Sampai lupa bahwa malam telah larut. Kenangan yang menyenangkan. Andai saya bisa memutuskan memori mana yang boleh selalu timbul dan mana yang harusnya menemui takdirnya untuk selalu tenggelam dalam ingatan paling dasar. Sayangnya itu mustahil.
Dulu saya seringkali bertanya-tanya mengapa setiap pertemuan pasti ada perpisahan, dan seperti kata seorang sahabat baik saya, tapi kita tidak akan pernah bisa membenci pertemuan seperti halnya kita membenci perpisahan.
Saat kuliah pada dasarnya kita diberi kesempatan untuk sama-sama tidak beranjak kemana-mana. Jogja. Namun, nyatanya saya memilih Solo. Saya lepas Jogja. Melepasnya dengan berat hati sebab mungkin artinya saya juga harus melepas kalian; sahabat-sahabat terbaik. Namun, sekalipun saya tidak meninggalkan Jogja apakah semua masih akan berjalan seperti biasanya?
Tidak mudah. Memang, tapi mungkin ini tak ubahnya sebuah perkara sepele. Sesepele kebiasaan mengenai sarapan. Mungkin. Menyapa, menjalani hari, bertukar kisah, berbagi mimpi, dan menyayangi kalian hanyalah tentang kebiasaan semata. Kemudian, penolakan, kepedihan, atau kesakitan mungkin hanya akan seujung waktu pada bagian awalnya saja. Selebihnya semua seharusnya juga akan menjadi biasa dan baik-baik saja.
Meski jujur, sampai saat ini saya masih belum mengerti mengapa pertemuan harus selalu berjodoh dengan perpisahan.
***
20.03.14.22.09
mari kita carikan jodoh yg baru untukknya :(
ReplyDelete