Dari
balik jendela kamar yang separuh terbuka, aku dapat menyaksikan hujan mulai
berjatuhan. Bau tanah basah mulai menjamah. Angin berhembus kencang tetapi aku
belum ingin beranjak dari tempatku duduk yang persis menghadap jendela. Untuk
kesekian kali layar ponselku kembali berkedip. Aku tahu itu bukan tanda ada
telepon atau pesan masuk.
*
Seperti
yang kuduga, semua berlalu begitu cepat hingga segalanya menjadi terasa
tiba-tiba. Ujian kelulusan sekolah menengah atas, tes masuk perguruan tinggi,
ospek, perkuliahan, ujian semester, dan tiba-tiba saja aku sudah kehilangan
jejakmu. Padahal kau tidak berjalan di belakangku pula di depanku. Kau berjalan
di sampingku, seharusnya.
Aku
belum pernah bertemu denganmu lagi semenjak status kita berubah menjadi
mahasiswa. Aku sedikit lupa kapan terakhir kali kita bertegur sapa secara
langsung. Mungkin saat wisuda, sewaktu prom
night berbulan-bulan lalu, atau entahlah. Ku rasa aku benar-benar lupa. Kau
tahu, segala yang terlalu mudah terlupakan bisa jadi merupakan hal yang tidak
berkesan, tidak penting. Selama ini aku percaya dengan kalimat tersebut. Namun,
untuk yang berhubungan denganmu ini sebetulnya aku malas mengakui jika kalimat
itu tidak hanya sekadar kupercaya, tapi bahkan kuyakini.
Komunikasi
kita di ujung tahun terakhir masa sekolah memang tidak buruk tapi juga tidak
bisa dikatakan baik. Kau akui atau tidak, menurutku kita memang sedang tidak
baik-baik saja waktu itu. Namun, kita seolah merasa nyaman dalam kepura-puraan
masing-masing.
Rupanya
tanpa kita sadari kita semakin menjauh satu sama lain. Asik dengan dunia baru
masing-masing yang saat itu terasa jauh lebih menarik. Kita tinggal di tempat
kos yang sama, kamarmu hanya beberapa langkah dari kamarku, tapi hal itu seakan
percuma.
Apa
yang salah?
Kita
tidak lagi saling mengenali seperti bertahun-tahun sebelumnya. Awalnya mungkin
kita hanya ingin mengambil jarak sejenak. Untuk lebih dapat menangkap gambaran
yang utuh, yang lengkap. Kemudian setelahnya kita akan kembali rekat dengan
pemahaman dan pengertan yang jauh lebih baik lagi. Namun, ternyata kita
berjalan terlalu jauh sampai pada akhirnya kita kesulitan menemukan satu sama
lain lagi.
*
Kaca
jendela di depanku sudah sejak setengah jam lalu berubah buram. Bukannya reda,
hujan justru kian menderas. Aku menyukai rasa dingin dari angin yang bertiup
kala hujan seperti ini. Namun sayangnya tempias air hujan mulai menggapai
tumpukan buku-bukuku yang tertata rapi di atas meja yang terletak tepat di
bawah jendela. Aku menghela napas saat kuputuskan untuk menutup rapat sebelah
jendela yang sedari tadi terbuka tersebut. Sementara itu, layar ponselku
lagi-lagi berkedip-kedip.
*
Wisuda
dan prom boleh jadi merupakan dua hal
yang penting bagi setiap orang yang sedang bersuka cita. Harusnya waktu itu
kita lekas mengulurkan tangan, tertawa menertawai tentang kemarin tapi lalu
berpelukan haru. Seperti luka yang harus cepat-cepat diobati, hubungan yang
tidak seperti biasanya harusnya juga segera dibenahi. Namun sayangnya kita
hanya saling tersenyum canggung saat tidak sengaja berpapasan.
Sekarang
semua semakin terasa sulit. Kita bukan hanya jauh dalam arti yang tidak
sebenarnya. Jarak sungguh-sungguh menjauhkan kita yang sudah jauh.
*
Kali
ini, kuraih ponselku sebelum layarnya kembali berkedip untuk entah yang
keberapa. Kusambar charger yang
tergeletak di atas meja belajar.
*
Terkadang, aku berpikir, apakah
benar sesuatu yang sudah patah tidak akan pernah bisa disatukan kembali?
Separuh hatiku memang mengiyakan, namun separuhnya lagi menepisnya. Menepis
dengan segumpal keraguan yang menyesaki.
*
Setelah menunggu beberapa saat
akhirnya nada tunggu yang membosankan itu berakhir. Berganti dengan suara yang
masih sangat kuhafal. Setelah berbasa-basi sebentar menanyakan kabar, akhirnya
aku mengatakan inti dari teleponku ini.
“Aku lagi di rumah. Sabtu sore nanti
ada waktu?” tanyaku.
Sejenak hening. Aku menunggu agak
sedikit lama sampai akhirnya mendengar suara dari seberang sana. “Oke, di
tempat biasa?”
*
Mungkin memang benar, sesuatu yang
sudah patah tidak akan pernah bisa disatukan kembali. Tidak akan pernah bisa
disatukan dengan sempurna, sesempurna saat belum patah. Namun, setidaknya aku
ingin berusaha. Tidak hanya sekadar berandai-andai. Untuk kali ini aku ingin
melakukan apa yang seharusnya kulakukan.
Dan seperti segala yang ada dalam
hidup ini, bukankah memang tidak ada yang sempurna?
***
2 Maret 2014
ini tentang sahabat ya?
ReplyDeleteHi Tutia. Iya. Bagaimana? Terimakasih sudah membaca :D
ReplyDelete