Saturday, 12 April 2014

Seperti Seharusnya



Dari balik jendela kamar yang separuh terbuka, aku dapat menyaksikan hujan mulai berjatuhan. Bau tanah basah mulai menjamah. Angin berhembus kencang tetapi aku belum ingin beranjak dari tempatku duduk yang persis menghadap jendela. Untuk kesekian kali layar ponselku kembali berkedip. Aku tahu itu bukan tanda ada telepon atau pesan masuk.

*

Seperti yang kuduga, semua berlalu begitu cepat hingga segalanya menjadi terasa tiba-tiba. Ujian kelulusan sekolah menengah atas, tes masuk perguruan tinggi, ospek, perkuliahan, ujian semester, dan tiba-tiba saja aku sudah kehilangan jejakmu. Padahal kau tidak berjalan di belakangku pula di depanku. Kau berjalan di sampingku, seharusnya.


Aku belum pernah bertemu denganmu lagi semenjak status kita berubah menjadi mahasiswa. Aku sedikit lupa kapan terakhir kali kita bertegur sapa secara langsung. Mungkin saat wisuda, sewaktu prom night berbulan-bulan lalu, atau entahlah. Ku rasa aku benar-benar lupa. Kau tahu, segala yang terlalu mudah terlupakan bisa jadi merupakan hal yang tidak berkesan, tidak penting. Selama ini aku percaya dengan kalimat tersebut. Namun, untuk yang berhubungan denganmu ini sebetulnya aku malas mengakui jika kalimat itu tidak hanya sekadar kupercaya, tapi bahkan kuyakini.

Komunikasi kita di ujung tahun terakhir masa sekolah memang tidak buruk tapi juga tidak bisa dikatakan baik. Kau akui atau tidak, menurutku kita memang sedang tidak baik-baik saja waktu itu. Namun, kita seolah merasa nyaman dalam kepura-puraan masing-masing.

Rupanya tanpa kita sadari kita semakin menjauh satu sama lain. Asik dengan dunia baru masing-masing yang saat itu terasa jauh lebih menarik. Kita tinggal di tempat kos yang sama, kamarmu hanya beberapa langkah dari kamarku, tapi hal itu seakan percuma.

Apa yang salah?

Kita tidak lagi saling mengenali seperti bertahun-tahun sebelumnya. Awalnya mungkin kita hanya ingin mengambil jarak sejenak. Untuk lebih dapat menangkap gambaran yang utuh, yang lengkap. Kemudian setelahnya kita akan kembali rekat dengan pemahaman dan pengertan yang jauh lebih baik lagi. Namun, ternyata kita berjalan terlalu jauh sampai pada akhirnya kita kesulitan menemukan satu sama lain lagi.

*

Kaca jendela di depanku sudah sejak setengah jam lalu berubah buram. Bukannya reda, hujan justru kian menderas. Aku menyukai rasa dingin dari angin yang bertiup kala hujan seperti ini. Namun sayangnya tempias air hujan mulai menggapai tumpukan buku-bukuku yang tertata rapi di atas meja yang terletak tepat di bawah jendela. Aku menghela napas saat kuputuskan untuk menutup rapat sebelah jendela yang sedari tadi terbuka tersebut. Sementara itu, layar ponselku lagi-lagi berkedip-kedip.

*

Wisuda dan prom boleh jadi merupakan dua hal yang penting bagi setiap orang yang sedang bersuka cita. Harusnya waktu itu kita lekas mengulurkan tangan, tertawa menertawai tentang kemarin tapi lalu berpelukan haru. Seperti luka yang harus cepat-cepat diobati, hubungan yang tidak seperti biasanya harusnya juga segera dibenahi. Namun sayangnya kita hanya saling tersenyum canggung saat tidak sengaja berpapasan.

Sekarang semua semakin terasa sulit. Kita bukan hanya jauh dalam arti yang tidak sebenarnya. Jarak sungguh-sungguh menjauhkan kita yang sudah jauh.

*

Kali ini, kuraih ponselku sebelum layarnya kembali berkedip untuk entah yang keberapa. Kusambar charger yang tergeletak di atas meja belajar.

*

            Terkadang, aku berpikir, apakah benar sesuatu yang sudah patah tidak akan pernah bisa disatukan kembali? Separuh hatiku memang mengiyakan, namun separuhnya lagi menepisnya. Menepis dengan segumpal keraguan yang menyesaki.

*

            Setelah menunggu beberapa saat akhirnya nada tunggu yang membosankan itu berakhir. Berganti dengan suara yang masih sangat kuhafal. Setelah berbasa-basi sebentar menanyakan kabar, akhirnya aku mengatakan inti dari teleponku ini.

            “Aku lagi di rumah. Sabtu sore nanti ada waktu?” tanyaku.

           Sejenak hening. Aku menunggu agak sedikit lama sampai akhirnya mendengar suara dari seberang sana. “Oke, di tempat biasa?”

*

            Mungkin memang benar, sesuatu yang sudah patah tidak akan pernah bisa disatukan kembali. Tidak akan pernah bisa disatukan dengan sempurna, sesempurna saat belum patah. Namun, setidaknya aku ingin berusaha. Tidak hanya sekadar berandai-andai. Untuk kali ini aku ingin melakukan apa yang seharusnya kulakukan.

            Dan seperti segala yang ada dalam hidup ini, bukankah memang tidak ada yang sempurna?

***


2 Maret 2014



2 comments:

THEME BY RUMAH ES