Friday, 18 August 2017

Peduli

Sebenarnya apa sih makna peduli? Apakah seseorang bisa disebut peduli karena misalnya sudah membantu secara materi dengan berdonasi buat orang lain yang membutuhkan? Apakah peduli itu sesederhana mengeluarkan uang seikhlas kita buat orang lain? Atau jauh lebih sederhana lagi, sesederhana kita turut merasa sedih atau kasihan atas musibah yang menimpa orang lain, lalu syukur-syukur tergerak buat berdonasi?

Kenapa ya, kalau saya berpikir tentang kepedulian, ujung-ujungnya larinya ke soal materi. Peduli itu nggak cuma sekadar berempati lalu selesai, tapi perlu aksi nyata. Nah, aksi nyatanya itu apa? Bantuin yang lagi kesusahan. Bantunya via apa? Karena orang sekarang sibuk-sibuk, paling gampang dan nggak pake ribet yang kasih aja sumbangan. Kelar. Kita udah dianggap sebagai orang yang memiliki kepedulian.

Ternyata selama bertahun-tahun saya hidup dengan pikiran sepicik itu. Sampai kemarin, percakapan di dalam kereta yang membawa saya pulang dari ibu kota menyadarkan saya.

Hari itu adalah Sabtu di penghujung bulan lalu. Saya sedang di kereta yang berangkat dari stasiun Pasar Senen menuju pemberhentian akhir di stasiun Surabaya Gubeng. Selama sekitar sepuluh jam perjalanan saya tidak banyak bicara. Saya hanya sempat mengobrol basa-basi sedikit dengan seorang bapak yang duduk di sebelah saya. Saling bertanya tentang hal umum seperti akan turun di mana dan semacamnya, meskipun bapak tersebut yang lebih banyak bertanya sampai ke kepentingan perjalanan saya, sampai ke hal-hal yang menyangkut status saya sebagai mahasiswa. Setelahnya, baik saya maupun bapak yang terbilang sopan dan ramah tersebut seperti tenggelam dalam dunia masing-masing. Saya lebih banyak berkutat dengan ponsel, sementara bapak tersebut lebih banyak tidur dan beberapa kali menelepon mengurusi pekerjaan saat sedang terjaga. Sampai akhirnya bapak tersebut turun di stasiun Wates, kami tidak saling membuka percakapan lagi.

Di depan saya adalah sepasang suami istri yang turun di stasiun Lempuyangan. Malam itu, lumayan banyak penumpang yang turun di sana, sementara yang naik hanya sedikit. Ketika suami istri paruh baya itu mengosongkan tempat duduknya dan beranjak meninggalkan kereta, seorang bapak yang tadinya duduk di ujung kursi di seberang deret kursi suami istri tadi pindah mengambil tempat di kursi bekas tempat suami istri tersebut. Kemudian, bapak tersebut bertanya, “Mbaknya kuliah di UNS ya?”

Saya menoleh, mengernyit sejenak, lalu mengiyakan. Bapak itu tahu kampus saya barangkali karena mendengar percakapan saya di awal tadi dengan bapak di sebelah saya. Kemudian bapak itu bertanya lagi, “Fakultas apa?”

“Saya FIB, sastra.”

“Oh, anak saya juga di UNS. Kedokteran.” Sahut bapak itu lagi sambil tersenyum ganjil.

Saya balik tersenyum dan ikut ber-oh pelan. Dan percakapan selanjutnya kira-kira begini.
“Semester berapa? Ke Jakarta ngapain?”

“Ini masuk sembilan. Ambil data buat skripsi, Pak.”

“Anak saya juga udah skripsian. Mbaknya angkatan berapa?”

“2013”

“Anak saya 2014, tapi udah skripsi juga sih. Ini dia lagi KKN. KKN-nya di Belitung.”

Mendengarnya, saya hanya bisa manggut-manggut, ber-oh, dan berusaha tetap senyum. Hening beberapa detik, lalu tiba-tiba bapak itu kembali ke kursinya semula.

Saya tidak menyimak apa yang dilakukan bapak itu sekembalinya beliau ke tempat duduknya semula. Sampai akhirnya saya turun di stasiun Klaten dengan perasaan campur aduk, saya melihat bapak itu sedang terlelap.

Perasaan saya masih tidak enak oleh sebab percakapan singkat dengan seorang orang tua yang sedemikian besar upayanya, pindah kursi dan mengajak saya bicara hanya demi “membanggakan anaknya”. Maaf kalau pikiran saya lagi-lagi terkesan picik. Namun, saya tidak menangkap hal lain dalam percakapan itu kecuali satu hal: ada seorang ayah yang tidak bisa menahan diri untuk tidak mengatakan pada dunia bahwa salah satu anaknya kuliah di universitas yang sama dengan saya, tapi bedanya anaknya itu jurusan pendidikan dokter dan saya (cuma) sastra, anaknya itu adik tingkat saya tapi sudah dalam proses skripsi, sementara saya (cuma) kakak tingkat yang nggak lulus-lulus, dan anaknya sedang KKN ke luar Jawa, ke Belitung, sementara saya (paling dikira cuma) KKN entah di pelosok dekat Solo yang nggak menarik.

Bapak tadi memang nggak mengatakan “cuma”, tapi saya merasa jadi sekadar “cuma”. Bapak tadi memang tidak membandingkan saya dengan anaknya, tapi saya merasa dibanding-bandingkan. Bapak tadi tidak mengeluarkan kata-kata hinaan, tapi andai saya adalah orang yang tidak mencintai hidup dan percaya diri dengan apa yang saya jalani, besar kemungkinan saya akan merasa terluka dan merasa jadi serendah-rendahnya anak muda. Namun, apa orang tadi peduli?

Apa bapak tadi peduli dengan perasaan saya dan siapapun yang diajaknya bicara mengenai anaknya yang luar biasa itu? Iya kalau saya adalah mahasiswa sastra yang tidak merasa salah jurusan dan tidak khawatir dengan pekerjaan kemudian setelah lulus jadi sarjana. Iya kalau saya di semester yang kesekian kewajiban KKN sudah terlaksana dan skripsian berjalan lancar. Lebih jauh lagi, iya kalau orang lain yang diajaknya bicara itu adalah orang yang memiliki kesempatan buat kuliah. Nggak usah muluk-muluk dulu masuk FK. Kalau tidak?

Ketika orang bisa dengan mudahnya berbicara sesuatu tanpa memikirkan perasaan orang lain, menurut saya orang tersebut sama sekali nggak memiliki kepedulian. Di satu sisi saya bisa maklum, orang tua mana sih yang nggak bangga sama anaknya yang kuliah dokter, di universitas negeri lagi. Namun, apa iya harus diomong-omongkan begitu? Tapi tunggu, mungkin bapak itu hanya ingin berbincang-bincang, Wik. Nah, menurut saya di sini masalahnya. Berbincang demi kepentingan siapa? Saya kira di kasus ini andai sekadar ingin berbincang, bapak tadi hanya ingin berbincang demi kepentingan dirinya. Dia mengajak saya ngobrol bukan karena peduli dengan saya yang cuma bisa diam saja di sepanjang perjalanan. Menurut saya, dia justru karena saking enggak pedulinya makanya mengajak saya mengobrol dengan topik yang seenaknya.

Direndahkan itu nggak enak. Mungkin kita enggak maksud merendahkan. Tetapi kalau kita meninggi, itu sama aja memposisikan orang lain lebih rendah daripada kita. Di atas langit masih ada langit. Buat apa juga sih sengaja koar-koar apa-apa yang udah kita capai? Kalau pencapaian seseorang emang luar biasa, gaungnya akan menguar sendiri kok. Lagi pula, padi makin berisi bakal makin merunduk. Makin kita merasa udah keren, maka di situlah kita sebenernya belum apa-apa.

Saya yakin tipe-tipe seperti bapak tadi masih ada banyak di luar sana. Stay strong dan tolong jangan ikut-ikutan dengan balas balik sombong misalnya. Kita di dunia ini cuma apa sih sebenernya. Sebutir remukan jas jus aja nggak ada gitu di hadapan YME. *ngingetin diri sendiri*

Peduli itu nggak cuma sekadar nyumbang dana terus kelar yang kalau kita nggak punya uang kelar juga kepedulian. Peduli itu menurut saya ketika kita bisa bijaksana buat memutuskan ucapan, sikap, perilaku, agar sebisa mungkin tidak menyinggung atau menyakiti orang lain. Sesederhana melakukan segala sesuatu dengan sebelumnya bercermin sambil mikir, "kira-kira saya kalo diginiin gimana ya? Suka nggak ya? Bakal sakit nggak ya?"



18/08/17

5 comments:

THEME BY RUMAH ES