Sebenarnya apa sih makna peduli? Apakah seseorang bisa
disebut peduli karena misalnya sudah membantu secara materi dengan berdonasi buat
orang lain yang membutuhkan? Apakah peduli itu sesederhana mengeluarkan uang
seikhlas kita buat orang lain? Atau jauh lebih sederhana lagi, sesederhana kita
turut merasa sedih atau kasihan atas musibah yang menimpa orang lain, lalu
syukur-syukur tergerak buat berdonasi?
Kenapa ya, kalau saya berpikir tentang kepedulian,
ujung-ujungnya larinya ke soal materi. Peduli itu nggak cuma sekadar berempati
lalu selesai, tapi perlu aksi nyata. Nah, aksi nyatanya itu apa? Bantuin yang
lagi kesusahan. Bantunya via apa? Karena orang sekarang sibuk-sibuk, paling
gampang dan nggak pake ribet yang kasih aja sumbangan. Kelar. Kita udah
dianggap sebagai orang yang memiliki kepedulian.
Ternyata selama bertahun-tahun saya hidup dengan pikiran
sepicik itu. Sampai kemarin, percakapan di dalam kereta yang membawa saya
pulang dari ibu kota menyadarkan saya.
Hari itu adalah Sabtu di penghujung bulan lalu. Saya sedang
di kereta yang berangkat dari stasiun Pasar Senen menuju pemberhentian akhir di
stasiun Surabaya Gubeng. Selama sekitar sepuluh jam perjalanan saya tidak
banyak bicara. Saya hanya sempat mengobrol basa-basi sedikit dengan seorang
bapak yang duduk di sebelah saya. Saling bertanya tentang hal umum seperti akan
turun di mana dan semacamnya, meskipun bapak tersebut yang lebih banyak
bertanya sampai ke kepentingan perjalanan saya, sampai ke hal-hal yang
menyangkut status saya sebagai mahasiswa. Setelahnya, baik saya maupun bapak
yang terbilang sopan dan ramah tersebut seperti tenggelam dalam dunia
masing-masing. Saya lebih banyak berkutat dengan ponsel, sementara bapak
tersebut lebih banyak tidur dan beberapa kali menelepon mengurusi pekerjaan
saat sedang terjaga. Sampai akhirnya bapak tersebut turun di stasiun Wates,
kami tidak saling membuka percakapan lagi.
Di depan saya adalah sepasang suami istri yang turun di
stasiun Lempuyangan. Malam itu, lumayan banyak penumpang yang turun di sana,
sementara yang naik hanya sedikit. Ketika suami istri paruh baya itu
mengosongkan tempat duduknya dan beranjak meninggalkan kereta, seorang bapak
yang tadinya duduk di ujung kursi di seberang deret kursi suami istri tadi
pindah mengambil tempat di kursi bekas tempat suami istri tersebut. Kemudian,
bapak tersebut bertanya, “Mbaknya kuliah di UNS ya?”
Saya menoleh, mengernyit sejenak, lalu mengiyakan. Bapak itu
tahu kampus saya barangkali karena mendengar percakapan saya di awal tadi
dengan bapak di sebelah saya. Kemudian bapak itu bertanya lagi, “Fakultas apa?”
“Saya FIB, sastra.”
“Oh, anak saya juga di UNS. Kedokteran.” Sahut bapak itu
lagi sambil tersenyum ganjil.
Saya balik tersenyum dan ikut ber-oh pelan. Dan percakapan
selanjutnya kira-kira begini.
“Semester berapa? Ke Jakarta ngapain?”
“Ini masuk sembilan. Ambil data buat skripsi, Pak.”
“Anak saya juga udah skripsian. Mbaknya angkatan berapa?”
“2013”
“Anak saya 2014, tapi udah skripsi juga sih. Ini dia lagi
KKN. KKN-nya di Belitung.”
Mendengarnya, saya hanya bisa manggut-manggut, ber-oh, dan
berusaha tetap senyum. Hening beberapa detik, lalu tiba-tiba bapak itu kembali
ke kursinya semula.
Saya tidak menyimak apa yang dilakukan bapak itu
sekembalinya beliau ke tempat duduknya semula. Sampai akhirnya saya turun di
stasiun Klaten dengan perasaan campur aduk, saya melihat bapak itu sedang
terlelap.
Perasaan saya masih tidak enak oleh sebab percakapan singkat
dengan seorang orang tua yang sedemikian besar upayanya, pindah kursi dan
mengajak saya bicara hanya demi “membanggakan anaknya”. Maaf kalau pikiran saya
lagi-lagi terkesan picik. Namun, saya tidak menangkap hal lain dalam percakapan
itu kecuali satu hal: ada seorang ayah yang tidak bisa menahan diri untuk tidak
mengatakan pada dunia bahwa salah satu anaknya kuliah di universitas yang sama
dengan saya, tapi bedanya anaknya itu jurusan pendidikan dokter dan saya (cuma)
sastra, anaknya itu adik tingkat saya tapi sudah dalam proses skripsi,
sementara saya (cuma) kakak tingkat yang nggak lulus-lulus, dan anaknya sedang
KKN ke luar Jawa, ke Belitung, sementara saya (paling dikira cuma) KKN entah
di pelosok dekat Solo yang nggak menarik.
Bapak tadi memang nggak mengatakan “cuma”, tapi saya merasa
jadi sekadar “cuma”. Bapak tadi memang tidak membandingkan saya dengan anaknya,
tapi saya merasa dibanding-bandingkan. Bapak tadi tidak mengeluarkan kata-kata
hinaan, tapi andai saya adalah orang yang tidak mencintai hidup dan percaya
diri dengan apa yang saya jalani, besar kemungkinan saya akan merasa terluka
dan merasa jadi serendah-rendahnya anak muda. Namun, apa orang tadi peduli?
Apa bapak tadi peduli dengan perasaan saya dan siapapun yang
diajaknya bicara mengenai anaknya yang luar biasa itu? Iya kalau saya adalah
mahasiswa sastra yang tidak merasa salah jurusan dan tidak khawatir dengan
pekerjaan kemudian setelah lulus jadi sarjana. Iya kalau saya di semester yang
kesekian kewajiban KKN sudah terlaksana dan skripsian berjalan lancar. Lebih
jauh lagi, iya kalau orang lain yang diajaknya bicara itu adalah orang yang
memiliki kesempatan buat kuliah. Nggak usah muluk-muluk dulu masuk FK. Kalau
tidak?
Ketika orang bisa dengan mudahnya berbicara sesuatu tanpa
memikirkan perasaan orang lain, menurut saya orang tersebut sama sekali nggak
memiliki kepedulian. Di satu sisi saya bisa maklum, orang tua mana sih yang
nggak bangga sama anaknya yang kuliah dokter, di universitas negeri lagi.
Namun, apa iya harus diomong-omongkan begitu? Tapi tunggu, mungkin bapak itu
hanya ingin berbincang-bincang, Wik. Nah, menurut saya di sini masalahnya. Berbincang
demi kepentingan siapa? Saya kira di kasus ini andai sekadar ingin berbincang,
bapak tadi hanya ingin berbincang demi kepentingan dirinya. Dia mengajak saya
ngobrol bukan karena peduli dengan saya yang cuma bisa diam saja di sepanjang
perjalanan. Menurut saya, dia justru karena saking enggak pedulinya makanya
mengajak saya mengobrol dengan topik yang seenaknya.
Direndahkan itu nggak enak. Mungkin kita enggak maksud
merendahkan. Tetapi kalau kita meninggi, itu sama aja memposisikan orang lain
lebih rendah daripada kita. Di atas langit masih ada langit. Buat apa juga sih sengaja
koar-koar apa-apa yang udah kita capai? Kalau pencapaian seseorang emang luar
biasa, gaungnya akan menguar sendiri kok. Lagi pula, padi makin berisi bakal
makin merunduk. Makin kita merasa udah keren, maka di situlah kita sebenernya
belum apa-apa.
Saya yakin tipe-tipe seperti bapak tadi masih ada banyak di
luar sana. Stay strong dan tolong
jangan ikut-ikutan dengan balas balik sombong misalnya. Kita di dunia ini cuma apa
sih sebenernya. Sebutir remukan jas jus aja nggak ada gitu di hadapan YME. *ngingetin
diri sendiri*
Peduli itu nggak cuma sekadar nyumbang dana terus kelar yang kalau kita nggak punya uang kelar juga kepedulian. Peduli itu menurut saya ketika kita bisa bijaksana buat memutuskan ucapan, sikap, perilaku, agar sebisa mungkin tidak menyinggung atau menyakiti orang lain. Sesederhana melakukan segala sesuatu dengan sebelumnya bercermin sambil mikir, "kira-kira saya kalo diginiin gimana ya? Suka nggak ya? Bakal sakit nggak ya?"
18/08/17
😎
ReplyDeletesering-sering mampir dhitt
DeleteSubhanallah, awesome😊
ReplyDeletemba ajijahh, bisa nyasar ke sini ya, senengnyaa
Deleteduhhh....
ReplyDelete