Seperti Tuhan
(Adimas
Immanuel)
Sewaktu kecil dengan suka hati kau menilai
diri
dan bertanya “apa Tuhan sepertiku?”
Setelah dewasa kau sesuka hati menilai
orang lain
dan
bertanya “apa aku seperti Tuhan?”
2014
Tuhan, adalah sesuatu
yang selalu menarik buat diperbincangkan. Pembicaraan mengenai Tuhan seolah
tiada habisnya buat diperbincangkan manusia. Seperti pengarang muda satu ini,
Adimas Immanuel yang banyak melibatkan Tuhan saat berpuisi. Salah satu puisi
yang mengajak Tuhan buat berperan ialah, karyanya yang tidak begitu panjang,
yakni Seperti Tuhan.
Adimas Immanuel melalui
puisinya yang berjudul Seperti Tuhan menghadirkan
seorang tokoh yang disebut “kau”. “Kau” saat kecil dan “kau” sewaktu dewasa. Secara
istilah, “kau” merupakan pronomina dari anda, engkau, kamu dan saudara. Tokoh
puisi ini merujuk orang lain di luar pengarang yang bisa jadi ialah pembaca
umum atau orang tertentu. Namun, pada intinya tokoh tersebut merepresentasikan manusia.
Saat kecil, “kau”
dikatakan /dengan suka hati kau menilai
diri/, sementara sewaktu telah dewasa dikatakan jika /kau sesuka hati menilai orang lain/. Kata-kata “dengan suka hati”
dan “sesuka hati” di sini merujuk pada sesuatu yang kesannya berlainan. Kata
yang pertama merepresentasikan kenaifan, sedangkan yang kedua mengindikasikan
adanya kesewenangan. Hal tersebut sejalan dengan penggambaran taraf usia
manusia. Ketika kecil, manusia masih lugu atau polos, sehingga orientasi
hidupnya pun masih seputar dirinya sendiri yang tercermin pada penilaiannya
atas diri. Berbeda dengan saat telah dewasa. Manusia dewasa memiliki jangkauan
sosialisasi terhadap lingkungan yang jauh lebih luas daripada anak-anak.
Orientasi hidupnya pun berkembang, bergerak keluar lebih dari sekadar dirinya
sendiri. Dan diakui atau tidak, orang dewasa kebanyakan cenderung gemar
berkomentar mengenai apa dan siapa saja.
Kemudian, seperti
lazimnya manusia yang suka gelisah, baik manusia kecil maupun dewasa, tiba pada
pertanyaan. Manusia kecil mempertanyakan /apa
Tuhan sepertiku?/, sedangkan manusia dewasa mempertanyakan /apa aku seperti Tuhan?/.
Manusia kecil, ketika
sudah bisa sampai membicarakan soal Tuhan, tentunya tidak berterima jika
dipahami sebagai seorang kecil yang masih balita. Sebagai manusia yang belum
dewasa, dapat dipahami manusia di sini merujuk pada manusia kecil usia remaja. Tatkala
remaja, persoalan eksistensi mulai muncul. Di dalam puisi tersebut tampak
dipertemukan gejolak pencarian awal pemahaman perihal eksistensi dari sesuatu
yang “absurd” dengan eksistensi pribadi yang seolah lebih nyata adanya karena
kasat mata. Manusia kecil, manusia pada awal mempelajari serta memahami hidup
adalah selalu naif.
Manusia dewasa pada
umumnya telah memiliki pemahaman yang lebih mengenai segala sesuatu.
Pembelajaran soal hidup terus berlanjut yang tentu mempengaruhi pemahamannya
atas hidup dan kehidupannya. Pemaknaan Tuhan dalam dirinya pun berkembang
seiring dengan berbagai ilmu yang dicerap. Namun demikian, orang dewasa yang
semula memang cenderung gemar berkomentar, seringkali merasa pintar dalam
urusan memvonis sesama. Si ini anu, si
itu anu, si dia begini, si dia begitu, kamu kafir, dia berdosa, mereka bakal
masuk neraka, kau tidak akan diampuni, dan lain sebagainya. Tingkat
religiusitas seseorang justru dipertanyakan di sini.Padahal cuma Tuhan, Yang
Maha Tahu. Hanya Tuhan, Yang Maha Benar.
Manusia mestinya tidak
lupa dengan peribahasa meski usia sekumpulan kata-kata itu sudah teramat tua
setua artefak purbakala. Padi makin
berisi makin merunduk, misalnya. Manusia tidak perlu merasa telah menjadi
“yang paling”, seperti paling baik, paling benar, paling sempurna. Di atas
langit masih ada langit, dan tidak ada yang pernah tahu kedalaman sumur hati
orang lain, kecuali Tuhan.[]
Ditulis untuk salah satu tugas mata kuliah Kapita Selekta Sastra (Mei, 2016).
Ditulis untuk salah satu tugas mata kuliah Kapita Selekta Sastra (Mei, 2016).
Aku ingat sekali. Tugas ini dikerjakan di mantan kamar kosku.
ReplyDeletedengan otak yang "dipaksakan".
Delete