Tuesday, 20 March 2018

Tuhan, Manusia, dan Ilmu Padi


            Seperti Tuhan
     (Adimas Immanuel)
Sewaktu kecil dengan suka hati kau menilai diri
dan bertanya “apa Tuhan sepertiku?”
Setelah dewasa kau sesuka hati menilai orang lain
dan bertanya “apa aku seperti Tuhan?”
     2014

Tuhan, adalah sesuatu yang selalu menarik buat diperbincangkan. Pembicaraan mengenai Tuhan seolah tiada habisnya buat diperbincangkan manusia. Seperti pengarang muda satu ini, Adimas Immanuel yang banyak melibatkan Tuhan saat berpuisi. Salah satu puisi yang mengajak Tuhan buat berperan ialah, karyanya yang tidak begitu panjang, yakni Seperti Tuhan.
Adimas Immanuel melalui puisinya yang berjudul Seperti Tuhan menghadirkan seorang tokoh yang disebut “kau”. “Kau” saat kecil dan “kau” sewaktu dewasa. Secara istilah, “kau” merupakan pronomina dari anda, engkau, kamu dan saudara. Tokoh puisi ini merujuk orang lain di luar pengarang yang bisa jadi ialah pembaca umum atau orang tertentu. Namun, pada intinya tokoh tersebut merepresentasikan manusia.

Saat kecil, “kau” dikatakan /dengan suka hati kau menilai diri/, sementara sewaktu telah dewasa dikatakan jika /kau sesuka hati menilai orang lain/. Kata-kata “dengan suka hati” dan “sesuka hati” di sini merujuk pada sesuatu yang kesannya berlainan. Kata yang pertama merepresentasikan kenaifan, sedangkan yang kedua mengindikasikan adanya kesewenangan. Hal tersebut sejalan dengan penggambaran taraf usia manusia. Ketika kecil, manusia masih lugu atau polos, sehingga orientasi hidupnya pun masih seputar dirinya sendiri yang tercermin pada penilaiannya atas diri. Berbeda dengan saat telah dewasa. Manusia dewasa memiliki jangkauan sosialisasi terhadap lingkungan yang jauh lebih luas daripada anak-anak. Orientasi hidupnya pun berkembang, bergerak keluar lebih dari sekadar dirinya sendiri. Dan diakui atau tidak, orang dewasa kebanyakan cenderung gemar berkomentar mengenai apa dan siapa saja.

Kemudian, seperti lazimnya manusia yang suka gelisah, baik manusia kecil maupun dewasa, tiba pada pertanyaan. Manusia kecil mempertanyakan /apa Tuhan sepertiku?/, sedangkan manusia dewasa mempertanyakan /apa aku seperti Tuhan?/.

Manusia kecil, ketika sudah bisa sampai membicarakan soal Tuhan, tentunya tidak berterima jika dipahami sebagai seorang kecil yang masih balita. Sebagai manusia yang belum dewasa, dapat dipahami manusia di sini merujuk pada manusia kecil usia remaja. Tatkala remaja, persoalan eksistensi mulai muncul. Di dalam puisi tersebut tampak dipertemukan gejolak pencarian awal pemahaman perihal eksistensi dari sesuatu yang “absurd” dengan eksistensi pribadi yang seolah lebih nyata adanya karena kasat mata. Manusia kecil, manusia pada awal mempelajari serta memahami hidup adalah selalu naif.

Manusia dewasa pada umumnya telah memiliki pemahaman yang lebih mengenai segala sesuatu. Pembelajaran soal hidup terus berlanjut yang tentu mempengaruhi pemahamannya atas hidup dan kehidupannya. Pemaknaan Tuhan dalam dirinya pun berkembang seiring dengan berbagai ilmu yang dicerap. Namun demikian, orang dewasa yang semula memang cenderung gemar berkomentar, seringkali merasa pintar dalam urusan memvonis sesama. Si ini anu, si itu anu, si dia begini, si dia begitu, kamu kafir, dia berdosa, mereka bakal masuk neraka, kau tidak akan diampuni, dan lain sebagainya. Tingkat religiusitas seseorang justru dipertanyakan di sini.Padahal cuma Tuhan, Yang Maha Tahu. Hanya Tuhan, Yang Maha Benar.

Manusia mestinya tidak lupa dengan peribahasa meski usia sekumpulan kata-kata itu sudah teramat tua setua artefak purbakala. Padi makin berisi makin merunduk, misalnya. Manusia tidak perlu merasa telah menjadi “yang paling”, seperti paling baik, paling benar, paling sempurna. Di atas langit masih ada langit, dan tidak ada yang pernah tahu kedalaman sumur hati orang lain, kecuali Tuhan.[]


Ditulis untuk salah satu tugas mata kuliah Kapita Selekta Sastra (Mei, 2016).


2 comments:

THEME BY RUMAH ES