Friday, 14 February 2014

Perbedaan antara Durkheim dan Weber (?)

Minggu pertama kuliah, Selasa lalu, akhirnya saya ketemu salah satu dosen baru di semester dua ini. Sebetulnya dalam jadwal ada tiga mata kuliah hari itu, yaitu:

Pendidikan Pancasila
Teori Sastra
Bahasa Belanda

yang kemudian menjadi

Pendidikan Pancasila
Teori Sastra
Bahasa Belanda

Yap, yang dihadiri dosen hanya satu, yaitu mata kuliah Teori Sastra.

Mata kuliah ini diampu oleh dua dosen; yang satu sudah mengajar di semester satu dan yang satunya baru bertemu di semester ini. Untuk pertemuan pertama, keduanya hadir namun yang mengajar adalah dosen baru, dosen satunya hanya mendampingi dari kursi bagian belakang.

Di bagian awal, seperti biasa setelah membicarakan kontrak perkuliahan, buku referensi, dan teman-temannya itu, dosen mulai masuk ke materi kuliah yang diawali dengan pertanyaan apa itu sastra?

Skip, karena saya nggak mau ceramah tentang pengertian sastra. Hehe..

Singkat kata, seperti judul yang saya tulis di atas, saya "dipertemukan kembali" dengan nama-nama yang tentu saja sudah tidak asing lagi di telinga saya. Ya, Durkheim dan Weber.

Slide dengan judul Sastra dan Struktur Sosial mengantarkan saya untuk kembali mengingat dua tokoh itu. Dalam pembahasan bahasa ke dunia sosial dalam slide tersebut tertulis beberapa kalimat yang salah satunya kira-kira begini; bahasa sebagai indikator dari keberadaan realitas sosial yang terlepas dari individu (Durkheim). Saat pembahasan dosen tersebut sampai pada kalimat ini, tiba-tiba beliau bertanya, "Tau kan bedanya Durkheim sama Weber?"

Hening.

"Wah, itu penting lho. Bedanya Durkheim sama Weber. Sampai besok S2, S3..." --saya tidak terlalu mampu menangkap kalimat yang diucapkan dosen tersebut berikutnya, namun intinya dosen itu tanya apakah ada yang tau tidak perbedaan antara Durkheim dan Weber--

Masih belum ada yang menyahut. Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran teman-teman satu kelas saya saat itu. Namun yang jelas, ada beberapa hal yang seketika berjubelan di kepala saya.

1. Maksudnya perbedaan dalam hal apanya? Orangtuanya? Makanan favorit? TTL? Zodiak? Pendapatnya? Pemikirannya?
2. Saya tentu hafal dua nama ini; Durkheim dan Weber yang sering wara-wiri di buku Sosiologi SMA. Namun, ya itu, saya cuma ingat namanya, dan... blank. Boro-boro mau membandingkan, bahkan salah satu pemikiran mereka pun saya tidak ada yang ingat.
3. Well, tiga tahun di SMA kemarin, saya ngapain aja sih?

Mungkin bosan tidak ada yang lekas menyahut, menjawab pertanyaannya, beliau akhirnya bertanya lagi. "Siapa yang dari jurusan IPS?"

Pertanyaan mudah yang cukup dijawab dengan acungan tangan; pengakuan.

Saya tahu ada "lumayan banyak" mahasiswa yang berasal dari jurusan sosial di kelas, tetapi saya tidak tahu persisnya berapa banyak yang mengangkat tangan; mengaku.

Seorang teman yang duduk tepat di sebelah kiri saya tiba-tiba menyenggol tangan saya dan berkata "Wik, koe ips to?" 

'Wik, kamu ips kan?'

Iya, saya memang anak ips dan mendengar jurusan saya itu disebut-sebut saya tidak melakukan gerakan refleks mengacungkan tangan, karena otak saya sudah mendahului. Well, saya tahu apa risikonya mengaku sebagai anak ips. Hehe.

Pasti ditodong pertanyaan di atas; apa bedanya Durkheim sama Weber?

Andai saya ikut angkat tangan, saya optimis gelagapan mau jawab apa. Memalukan. -_- Kemudian saya akan mengutuki diri sendiri (lagi). Kemarin ngapain aja sih tiga tahun berkutat dengan Sosiologi pas SMA? 

Benar saja, teman saya yang angkat tangan langsung ditodong dengan pertanyaan itu dan seingat saya juga tidak sukses menjawab.

"Aku ngko ndak ditakoni, Sosiologiku rodo menyedihkan e, hehe." Bisik saya kepada teman saya tadi. 'Saya nanti malah ditanyai, Sosiologiku agak menyedihkan soalnya, hehe.'

Setelah tidak puas mendengar jawaban teman saya yang angkat tangan tadi, dosen itu lalu berkata,"Saya tahu sebenarnya banyak anak ips-nya ini, tapi pada nggak mau angkat tangan, ndak ditakoni (malah tanyain)." 

#Jleb. Lumayan... tersindir. Tau aja ini dosen. -_-

Dosen pun lalu menanyai satu-satu beberapa mahasiswa. "Jurusan apa mbak/mas kemarin?"

Saya duduk di baris kedua dari depan dan... selamat. ^^

Pembahasan dosen pun kemudian berganti. Dari pertemuan pertama ini saya mempelajari dau hal dari dosen ini, yaitu pertama dosen ini hobi banget ngasih pertanyaan yang kalau mahasiswanya tidak bisa menjawab beliau tidak akan jarang memberi tahu jawabannya. Kedua, saat memberi penjelasan dari pertanyaan yang diajukan mahasiswa, beliau tidak akan menjelaskan secara mendetail. Hal-hal yang dianggapnya sederhana dan sekiranya di buku referensi ada tidak akan beliau jelaskan lagi. Pokoke sik ngono lah, gampang, wis tau kan? Nggon buku enek, ngko diwoco. 'Pokoknya begitulah, gampang, udah pernah kan? Di buku ada, nanti dibaca.'

Digantung. Ya, dan saya paham kok, tujuannya baik. Beliau tidak mau meperlakukan mahasiswanya seperti bayi yang masih butuh disuapi. Mahasiswa harus proaktif dengan banyak membaca.

Akhirnya sepulang kuliah sampai beberapa hari berikutnya setelah perkuliahan mata kuliah Teori Sastra itu usai saya terus saja penasaran, dan sepertinya beberapa teman saya yang lain juga merasakan hal serupa.

Beberapa teman bahkan di hari berikutnya langsung memboyong beberapa buku dari perpustakaan yang menyangkut dengan materi mata kuliah Teori Sastra. Saya buka-buka, saya baca sekilas, lalu dengan gemas saya tutup lagi buku-buku tersebut.

"Udah nemu bedanya Durkheim sama Weber?"

Teman-teman saya menggeleng.

"Di buku ini nggak ada?"

Teman-teman saya mengangguk.

Haish. Alhasil, sampai detik ini saya belum menemukan perbedaan antara Durkheim dan Weber.


Mungkin ada yang bisa membantu saya?



Semin, 14 02 14

No comments:

Post a Comment

THEME BY RUMAH ES