Tuesday, 14 January 2014
Memang Ada Masanya Saya Harus Berhenti Membaca
Saya senang atau dapat dibilang "lega" sekali saat menemukan tulisan Bernard Batubara ini di bisikanbusuk.com. Pertama kali 'nyasar' ke web milik seorang penulis yang sudah pernah saya baca salah satu karya novelnya, saya tidak bisa langsung melewati sebuah artikel berjudul Ada Masanya Kau Harus Berhenti Membaca begitu saja. Artikel itu kemudian saya baca sampai tamat. Setelah selesai membaca, saya seolah blank, speechless, atau apalah. Intinya perasan semacam itulah yang saya rasakan untuk beberapa saat kemudian.
Sebelumnya, untuk pertama kalinya saya memposting ulang tulisan saya yang pernah dimuat di media cetak. Saya memposting sebuah cerpen -yang saya anggap paling "beruntung" dari yang pernah saya buat sebelumnya. Judulnya Pilihan, bisa dicek di sini. Ada beberapa alasan kenapa akhirnya saya "memberanikan diri" memposting cerpen saya tersebut. Pertama, alasan klise, saya ingin karya saya tersebut diapresiasi oleh lebih banyak orang. Kedua, alasan paling jujur, yaitu saya sedang berusaha "menampar" pipi saya sendiri.
Ya. Menampar.
Pilihan adalah cerpen terakhir saya yang -setelah melalui proses penantian panjang akhirnya "beruntung" dapat dimuat di sebuah majalah sastra pada Desember 2012 lalu. Dapat dikatakan ini "wadah" paling bergengsi yang pernah menampung tulisan-tulisan saya sebelumnya. Kemudian secara otomatis Pilihan pun menjadi sesuatu yang seolah membuat saya menjadi seorang pemenang dalam sebuah pertarungan. Namun, itu sudah lama sekali sejak saya tahu bahwa cerpen saya yang sebenarnya sudah saya "lupakan" ternyata dimuat di Horison, dan bertahan sampai saya menerima wesel honornya.
Sama seperti beberapa karya sebelumnya, setelah ada tulisan yang dimuat -tentu saja- saya on fire sekali dengan menulis. Seolah-olah saya bisa meledak jika tidak segera menuliskan apa yang berputar-putar dalam otak saya. Namun, saat itu kebetulan saya tengah duduk di bangku akhir SMA. Saya sok-sokan mengekang diri saya sendiri agar fokus untuk ujian kelulusan dan penerimaan mahasiswa baru.
Saya pun berhenti menulis. Saya berpikir itu tidak masalah karena setelah ujian dkk itu selesai, saya akan punya banyak waktu luang untuk menulis sepuasnya. Tidak apa-apa. Sekuat tenaga saya terus meyakinkan diri saya sendiri untuk menunda menuliskan apa yang ingin saya tulis. Saya lupa bahwa menulis adalah sebuah ketrampilan yang jika tidak diasah pun akan tumpul. Bukan penulis jika ia hanya menulis sekali dua kali lalu berhenti, sekalipun tulisannya sangat fenomenal.
Semua seolah berjalan cepat, terburu-buru dan tidak berjeda. Dapat dibilang saya menganggur beberapa bulan sebelum mulai masuk kuliah, tapi hasilnya nol.
Saya berhasil melahap banyak buku, tapi gagal menyelesaikan satu cerpen.
Saya kalah.
Pilihan, selain menjadikan saya seorang pemenang rupanya juga telah membuat saya menjadi sesosok pecundang.
Dan semuanya semakin rumit saat takdir memilihkan Sastra Indonesia dari yang lain yang saya pilih. Sebagai anak Sastra Indonesia tentunya saya menambah bacaan yang kata dosen saya bernama sastra serius. Hal itu sudah saya lakukan dengan sendirinya bahkan jauh sebelum seorang dosen berkata, "Perbanyak membaca yang sastra serius dulu ya."
Saya membaca lebih banyak sastra serius dengan intensitas yang jauh lebih banyak, dan mengurangi bacaan sastra pop, daripada sewaktu SMA dulu. Pada saat itu saya masih berhasil melahap banyak buku, tapi hanya sukses menyelesaikan satu cerpen.
Padahal bacaan saya semakin banyak dan variatif, namun progres menulis saya justru memburuk. Bukankah jika kita ingin menulis satu buku, maka kita harus membaca seratus atau seribu buku?
Sebenarnya, saya itu kenapa?
Itulah mengapa di awal tadi saya mengatakan bahwa saya senang sekaligus lega saat menemukan tulisan Benz. Akhirnya saya tahu saya itu kenapa. Sama seperti Benz, ternyata saya juga dihantui oleh buku-buku yang saya baca. "Saya takut, cerita yang saya tulis tidak sebagus buku-buku tersebut. Dan semakin banyak membaca, semakin sulit saya menulis." Begitu, tulis Benz dalam artikelnya.
Serupa dengan Benz, saya juga menjadi terbebani saat hendak menulis. Banyak hal yang saya takutkan, dan salah satunya seperti yang diungkapkan Benz di atas.
Masalah saya rasanya menjadi kompleks. Ketrampilan menulis yang melapuk serta berkolaborasi dengan ketakutan-ketakutan "klise" yang kian menebal.
Persis seperti Benz, mungkin memang benar jika saya harus memisahkan antara menulis dan membaca. Agar keduanya masing-masing bisa fokus, maksimal, dan tidak saling mempengaruhi. Kemudian, saya hanya butuh terus menulis tanpa harus memikirkan hal-hal lain atau mengenai orang lain. Itu urusan belakangan, kan?
Terakhir, tidak lupa, terimakasih untuk Benz, Bernard Batubara atas postingannya.
Terimakasih juga untuk yang sudah mau membaca ceracauan panjang lebar saya ini. :)
THEME BY RUMAH ES
No comments:
Post a Comment