Tadi siang saya lagi mikir tentang karya apa yang kira-kira bakal saya angkat untuk tugas analisi karya sastra pop, saat ibuk yang sedang duduk-duduk di depan rak buku di kamar saya berkata (versi Indonesianya begini) "Aku baca ini (Sitti Nurbaya-Marah Rusli) nggak selesai-selesai e."
"Lha nggak tok baca e buk," jawabku asal.
"Tak baca weh, tapi bikin pedes mata. Dan kosakatanya...wah.." Kemudian ibuk cerita kalau setelah baca sekitar sepuluh lembar dia harus istirahat dulu. Buku Sitti Nurbaya (yang bahkan belum sempat saya baca) itu ditutup dulu dan ditinggal melakukan aktivitas yang lain. Setelah ada waktu atau sudah merasa siap baru ibuk lanjutin lagi baca Sitti Nurbaya itu.
Saya tertawa. Bukan karena apa-apa, tapi biasanya ibuk memang bisa cepat kalau urusan baca dan memang termasuk omnivora alias pemakan segala. Ada buku fiksi (kecuali komik), nonfiksi, sampai majalah Bobo juga oke-oke saja. Bahkan biasanya saya belum baca aja ibuk udah khatam duluan. Kemudian dengan mengutip kalimat dosen -yang kebetulan adalah dosen yang memberi tugas analisis karya sastra pop- saya pun menjawab, "Itu namanya karya sastra serius. Ya memang begitu buk, berat di otak. Baca sastra serius memang bikin nyut-nyutan."
Ibuk manggut-manggut. "Terus aku baca apa lagi ya?" Sepertinya ibuk masih enggan buat lanjut baca Sitti Nurbaya. Entah kenapa. Padahal dulu sebelum baca Sitti Nurbaya ibu berhasil merampungkan bukunya Ahmad Tohari yang Lintang Kemukus Dini Hari, meskipun memang itu buku lebih tipis bahkan kalah jauh dari Sitti Nurbaya. "Lapis Lazuli yang kayak apa ya? Sudah pernah tak baca belum sih?" tanya ibuk sembari menyelipkan sebuah buku ke dalam rak. Buku yang jumlah halamannya sekitar 370an yang baru saja ia rampungkan setelah dua hari.
"Fantasi buk, Fenny Wong, yang nulis Fleur juga."
"Oh iya, sudah baca aku."
Tak lama kemudian, saya keluar kamar dan mandi. Selesai mandi, saat hendak menjemur handuk di samping rumah, ibuk tiba-tiba menodong saya dengan pertanyaan, "Artinya katastrofa itu apa?"
He? "Kata-kata di mana memangnya buk?"
"Di puisi."
"Puisi di mana?"
"Majalahmu, Horison."
Oh, dari Sitti Nurbaya, untuk sementara ibuk move on ke majalah sastra Horison. Pelarian yang, hm kurang tepat itu buk. Hoho.
Saya mengedikkan bahu. Saya juga nggak ngerti itu buk. Duh...
--Untung ibuk tidak bilang, "Loh, kamu kan kuliah di sastra to Nduk?--
Di bawah langit yang seharian gelap dan hujan,
Rabu, 25 Desember 2013
No comments:
Post a Comment