Sunday, 11 June 2017

Ngomongin Ziarah, Masa Tua, dan Generasi Mager



Akhirnya nonton Ziarah.  Tulisan di sini nggak akan ngebahas atau ngereview film karya BW Purba Negara itu (meski bakal dipost di bawah label review juga), literally dari segi perfilman atau apalah itu namanya. Di sini saya cuma akan berbagi perasaan saya setelah nonton film lokal tersebut. Barusan saya cek di webnya XXI sih di Solo filmnya udah nggak tayang. Kalau kemarin udah pada nonton, mungkin bisa lebih nyambung.

Pertama tau film ini kalau nggak salah dari berita sekilas di TV yang ngabarin kalau seorang nenek usia 95 tahun jadi nominator aktris terbaik AIFFA 2017. Di berita itu ditampilin cuplikan trailer Ziarah pas adegan nenek yang memerankan tokoh Mbah Sri ini sedang dalam perjalanan di bus. Pikiran pertama yang terlintas, gatau kenapa saya mikir “ini film Cina apa gimana”. Tapi setelah lihat trailer filmnya secara utuh saya baru paham kalau film ini seratus persen film Indonesia dan seratus persen make bahasa pengantar bahasa Jawa. Dari trailer itu juga samar-samar saya seperti merasa nggak asing dengan setting dan dialek Jawanya. Dan ternyata nih ternyata, lokasi syutingnya emang sebagian di Gunungkidul. Sebagian lagi di Wonogiri, Boyolali, (dan lupa di mana lagi). Which is, itu daerah saya familiar semua. Bahkan Mbah Ponco Sutiyem (pemeran Mbah Sri) itu orang asli Gunungkidul. Makanya nggak heran kalau istilah bahasa Jawanya pun plek-plekan kaya yang biasa saya pake. Bahkan di dalam salah satu dialog muncul juga istilah “wangun” yang biasanya kalau istilah itu saya pakai ketika di Solo, teman-teman saya pada bingung. Wangun itu artinya semacam ‘pantas’ atau ‘patut’. Oke, skip.

Jadi, awalnya saya nonton film ini karena beberapa alasan. Pertama, karena mungkin saya baper sebab film itu that’s must be Gunungkidul banget, yang mana udah jadi kampung halaman saya. Kedua, karena tokohnya adalah seorang wanita yang sudah sangat tidak muda. Ketiga, karena ini film lokal yang kayaknya nggak terlihat semata-mata berorientasi duit banget-bangetan. Kelima, karena saya hampir yakin film ini bakal dibahas di kelas oleh salah satu dari sangat sedikit dosen keren saya buat didiskusikan, sekalipun saya sudah nggak menghadiri kelasnya lagi. Tapi entah kenapa dalam hati saya senang aja kalau nggak kalah referensi filmnya dari beliau. Keenam, saya baca berita kalau bupati Gunungkidul dan serombongan petani wanita ramai-ramai nonton bareng di XXI Empire Jogja. Saya makin penasaran aja jadinya. Kenapa gitu.
THEME BY RUMAH ES