Akhirnya nonton Ziarah. Tulisan di sini nggak akan ngebahas atau ngereview film karya BW Purba Negara itu
(meski bakal dipost di bawah label review juga), literally dari segi
perfilman atau apalah itu namanya. Di sini saya cuma akan berbagi perasaan saya
setelah nonton film lokal tersebut. Barusan saya cek di webnya XXI sih di Solo filmnya udah nggak tayang. Kalau kemarin
udah pada nonton, mungkin bisa lebih nyambung.
Pertama tau film ini kalau nggak salah dari berita sekilas
di TV yang ngabarin kalau seorang nenek usia 95 tahun jadi nominator aktris
terbaik AIFFA 2017. Di berita itu ditampilin cuplikan trailer Ziarah pas adegan
nenek yang memerankan tokoh Mbah Sri ini sedang dalam perjalanan di bus.
Pikiran pertama yang terlintas, gatau kenapa saya mikir “ini film Cina apa gimana”. Tapi setelah lihat trailer filmnya
secara utuh saya baru paham kalau film ini seratus persen film Indonesia dan
seratus persen make bahasa pengantar bahasa Jawa. Dari trailer itu juga
samar-samar saya seperti merasa nggak asing dengan setting dan dialek Jawanya. Dan ternyata nih ternyata, lokasi
syutingnya emang sebagian di Gunungkidul. Sebagian lagi di Wonogiri, Boyolali,
(dan lupa di mana lagi). Which is, itu
daerah saya familiar semua. Bahkan Mbah Ponco Sutiyem (pemeran Mbah Sri) itu
orang asli Gunungkidul. Makanya nggak heran kalau istilah bahasa Jawanya pun
plek-plekan kaya yang biasa saya pake. Bahkan di dalam salah satu dialog muncul
juga istilah “wangun” yang biasanya
kalau istilah itu saya pakai ketika di Solo, teman-teman saya pada bingung. Wangun itu artinya semacam ‘pantas’ atau
‘patut’. Oke, skip.
Jadi, awalnya saya nonton film ini karena beberapa alasan.
Pertama, karena mungkin saya baper sebab film itu that’s must be Gunungkidul
banget, yang mana udah jadi kampung halaman saya. Kedua, karena tokohnya adalah
seorang wanita yang sudah sangat tidak muda. Ketiga, karena ini film lokal yang
kayaknya nggak terlihat semata-mata berorientasi duit banget-bangetan. Kelima,
karena saya hampir yakin film ini bakal dibahas di kelas oleh salah satu dari
sangat sedikit dosen keren saya buat didiskusikan, sekalipun saya sudah nggak
menghadiri kelasnya lagi. Tapi entah kenapa dalam hati saya senang aja kalau
nggak kalah referensi filmnya dari beliau. Keenam, saya baca berita kalau
bupati Gunungkidul dan serombongan petani wanita ramai-ramai nonton bareng di
XXI Empire Jogja. Saya makin penasaran aja jadinya. Kenapa gitu.