Buat Bapak, yang senantiasa mengajarkan saya bagaimana membaca mata angin.
utara itu pada 0 derajat
Bapak ingat? Apa yang selalu saya tunggu-tunggu saat siang menjelang sore hari? Sewaktu masih di taman kanak-kanak dan awal sekolah dasar saya selalu tidak sabar menunggu Bapak pulang mengajar. Sebab Bapak tidak pernah lupa membelikan buku mewarnai dan majalah anak-anak edisi terbaru.
timur laut, 45 derajat antara utara dan timur
Bapak ingat? Bapak tidak pernah memaksa saya untuk menelan rupa-rupa daging yang tidak pernah bisa saya lakukan. Namun, walau saya menangis, Bapak lebih memilih untuk membuat saya tetap tinggal di rumah daripada berangkat sekolah tanpa sarapan.
timur itu pada 90 derajat
Bapak ingat? Bapak membuang ketakutan sendiri demi saya dan Mas Dida yang lari menjerit oleh kejaran sekeluarga anjing hitam besar pada suatu malam.
tenggara, 135 derajat antara timur dan selatan
Bapak ingat? Tidak hanya sekali dua kali, jauh-jauh Bapak mengantar makan siang ke kos hanya karena Ibuk memasak makanan kesukaan saya.
selatan itu pada 180 derajat
Bapak ingat? Pada suatu pagi yang hujan, Bapak izin mengajar karena harus menyusul saya yang harus segera tiba di sekolah karena ada ulangan di jam pertama, sementara ban sepeda motor saya bocor di tengah jalan.
barat daya, 225 derajat antara selatan dan barat
Bapak ingat? Bapak tidak keberatan saat harus menjelajah Yogyakarta, berputar-putar, tersesat, bertanya kesana kemari, mengantar saya, untuk kepentingan acara saya, demi saya.
barat itu pada 270 derajat
Bapak ingat? Bapak hanya tertawa menggoda saat saya terkantuk-kantuk bahkan tidur setiap pagi dari rumah ke tempat kuliah, sepanjang jalan Jogja-Solo, ketika Bapak mengantar saya ke kos.
barat laut, 315 derajat antara barat dan utara
Bapak pasti ingat. Saya juga. Tapi, sampai kapankah kita bisa mengingat? Bukankah tidak ada yang abadi begitu juga dengan memori? Pula ingatan manusia tak seperti sabar yang tidak ada batasnya. Dan catatan pada surat kali ini, saya percaya tidak akan pernah ada habisnya. Hingga satu hari kelak, tatkala saya menikah dan hari-hari selepasnya, cerita saya dan Bapak, cerita kita akan terus berlanjut selayaknya laut yang tiada surut.
Terimakasih, Bapak. Meski saya tahu, ucapan terimakasih tidak akan pernah sebanding dengan segala yang telah Bapak lakukan dan berikan untuk saya bahkan sejak saya belum lahir ke dunia ini.
Sehat, panjang umur, dan bahagia selalu, Bapak. Semoga Allah senantiasa memudahkan, melancarkan, serta merestui segala urusan.
Di tanah kelahiranmu, 15 Juni 2014
Salam dua cangkir kopi panas yang biasa kita seduh
kapan pun kita mau.
Rahwiku Titahwening Mahanani
(anak tengahmu, perempuan satu-satunya)
No comments:
Post a Comment